on 02 Mar 2015 at 07:15 WIB
Liputan6.com, Jakarta - Penggunaan perangkat komputer
dan gadget lainnya di Indonesia
terbilang tinggi. Namun, pertumbuhan yang ada di sektor perangkat keras
disebutkan tak berbanding lurus dengan angka adopsi perangkat lunak resmi.
Sebuah studi membuktiikan bahwa sebagian besar orang
Indonesia masih lebih memilih perangkat lunak bajakan. Laporan itu mengungkap,
di Indonesia perangkat lunak menduduki peringkat pertama dengan raihan 33,50%
sebagai produk yang paling sering dibajak.
Studi yang dilakukan oleh Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) bersama
dengan Makara Mas Universitas Indonesia yang berjudul 'Economic Impact of
Counterfeiting in Indonesia' tersebut mengungkap produk yang sering dibajak
ialah kosmetik, obat-obatan, pakaian, barang-barang berbahan kulit, serta
makanan dan minuman.
Studi ini juga mengungkapkan bahwa Indonesia mengalami kerugian akibat
kehilangan potensi pendapatan pajak tidak langsung dari penjualan perangkat
lunak asli. MIAP pun melakukan sosialiasi kepada masyarakat terkait aturan baru
yang melarang penggunaan perangkat lunak bajakan.
"Kami mengapresiasi lahirnya UU Hak Cipta no. 28/ 2014 yang berusaha
melindungi industri perangkat lunak. UU ini juga dapat mendukung usaha
pemerintah Indonesia untuk keluar dari Priority Watch List yang dikeluarkan
oleh US Trade Representative,รข ujar Widyaretna
Buenastuti Ketua MIAP dalam keterangan tertulisnya.
Dukungan terkait UU Hak Cipta tersebut tak hanya datang dari MIAP, Asosiasi
Pengusaha Komputer Indonesia (APKOMINDO) dan jajaran Kepolisian Daerah Metro
Jaya mengaku juga mendukung penuh UU Hak Cipta agar masyarakat menghindari
penggunaan perangkat lunak bajakan.
"Adanya UU Hak Cipta yang baru kami harapkan bisa menekan jumlah pengguna
perangkat lunak bajakan seminim mungkin. Sudah saatnya menggugah kesadaran
masyarakat untuk menggunakan software
asli," ungkap Soegiharto Santoso, Ketua Umum DPP APKOMINDO.
Ketiga pihak tersebut ingin memberitahukan masyarakat adanya ancaman yang cukup
besar bagi pelaku pembajakan di UU Hak Cipta No.28/2014 berupa denda sebesar Rp
500 juta hingga Rp 1 triliun kepada pelaku pembajakan. Denda tersebut naik dua
kali lipat dari UU Hak Cipta sebelumnya.
Selain itu, UU Hak Cipta yang baru juga menitikberatkan tanggung jawab pemilik
mal atau hypermarket untuk tidak membiarkan
produk bajakan dijual di tempat usahanya. Jika pemilik tempat usaha lalai dalam
mematuhi UU ini, mereka dapat dikenakan denda hingga Rp 100 juta.
"Keberhasilan dalam penegakan peraturan ini ditentukan oleh peran para
penegak hukum serta kesadaran dari pemilik hak untuk siap melaporkan setiap
ditemukannya tindak pembajakan. POLDA Metro Jaya siap berkolaborasi dengan MIAP
dan APKOMINDO," kata Komisaris Besar Polisi Drs. Mujiyono, SH, Mhum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar